Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7. Sasando berasal dari kata sari (petik) dan sando (bergetar) yang diyakini diciptakan Sanggu Ana
pada abad ke-15 di pulau kecil dekat Pulau Rote, yaitu Pulau Dana, yang
waktu itu dikuasai Raja Taka La’a. Sanggu adalah warga Nusa Ti’i di
Pulau Rote Barat Daya. Dia ditahan Raja Dana saat terdampar di pulau itu
ketika mencari ikan bersama kawannya, Mankoa. Selain seorang nelayan,
Sanggu juga seorang seniman.
Saat itu
Raja Dana memiliki putri. “Tidak disebutkan siapa nama putri ini,” kata
Nggebu. Putri jatuh cinta kepada Sanggu. Kepada Sanggu, putri
menyampaikan permintaannya untuk memiliki alat musik baru yang
diciptakan Sanggu dan bisa menghibur rakyat. Putri memang suka membuat
hiburan rakyat saat purnama tiba. Sanggu kemudian menciptakan sari sando yang artinya bergetar saat dipetik. Saat itu dengan tujuh tali yang terbuat dari serat kulit kayu atau akar-akaran.
Sasando
memiliki notasi yang tidak beraturan dan tidak terlihat karena
terbungkus resonator. Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah
berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi
memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan bertugas memainkan
accord.
Sasando
mempunyai media pemantul suara yang terbuat dari daun Pohon Gebang
(sejenis Pohon Lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Rote)
yang dilekuk menjadi setengah melingkar. Tempat senar-senar diikat
terbuat dari bambu yang keras, penahan senar yang sekaligus sebagai
pengatur nada senar juga terbuat dari bambu. Batang bambu itu lalu
diikat menyatu dengan daun Gebang yang dibuat melingkar tadi. Tabung
sasando ini terletak dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam
anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas.
Wadah ini
adalah tempat resonansi sasando. Bunyi sasando sangat unik, karena
dibanding gitar biasa sasando lebih bervariasi. Jangan heran, hal ini
karena sasando memiliki 28 senar. Itulah sebabnya memainkan Sasando
tidaklah mudah karena seorang pemain Sasando harus mampu membuat ritme
dan feeling bunyi nada yang tepat dari seluruh senar yang ada.
Sasando dengan 28 senar ini dinamakan Sasando engkel, sedangkan jenis
Sasando dobel memiliki 56 senar, bahkan ada yang 84 senar.
Sasando saat
ini sudah mulai langka karena tidak ada orang yang mau memainkannya
lagi. Tetapi berbeda dengan Jacko H.A. Bullan. Ia adalah salah satu dari
8 orang pewaris sasando rote yang tersisa. Untuk mendukung niatnya
melestarikan sasando ia pindah ke Jakarta. Dan hasilnya pun sepadan,
order manggung Jack semakin banyak. Sejumlah negara pun pernah ia
datangi untuk pentas mulai dari Malaysia, Jepang, hingga Spanyol. Di
Jakarta, Jack membuka rumahnya bagi siapa pun yang ingin belajar
sasando.
Jack mengaku
bahwa ia tidak pernah menerima biaya apapun dalam pelestarian sasando.
Padahal ada program maestro seni tradisi (bantuan Rp 1 juta/orang/bulan
selama seumur hidup) yang disediakan oleh Depbudpar. Tanpa mengambil
program tersebut, Jack terus berusaha dengan cara consumer selling ke target utama pasar pariwisata Indonesia. Dengan begitu Jack tidak akan menjadi generasi terakhir pemetik sasando.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar