Jumat, 14 Juli 2017

Sasando; Alat Musik dari Pulau Rote


Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.  Secara harfiah nama Sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7. Sasando berasal dari kata sari (petik) dan sando (bergetar) yang diyakini diciptakan Sanggu Ana pada abad ke-15 di pulau kecil dekat Pulau Rote, yaitu Pulau Dana, yang waktu itu dikuasai Raja Taka La’a. Sanggu adalah warga Nusa Ti’i di Pulau Rote Barat Daya. Dia ditahan Raja Dana saat terdampar di pulau itu ketika mencari ikan bersama kawannya, Mankoa. Selain seorang nelayan, Sanggu juga seorang seniman.
Saat itu Raja Dana memiliki putri. “Tidak disebutkan siapa nama putri ini,” kata Nggebu. Putri jatuh cinta kepada Sanggu. Kepada Sanggu, putri menyampaikan permintaannya untuk memiliki alat musik baru yang diciptakan Sanggu dan bisa menghibur rakyat. Putri memang suka membuat hiburan rakyat saat purnama tiba. Sanggu kemudian menciptakan sari sando yang artinya bergetar saat dipetik. Saat itu dengan tujuh tali yang terbuat dari serat kulit kayu atau akar-akaran.
Sasando memiliki notasi yang tidak beraturan dan tidak terlihat karena terbungkus resonator. Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas,  sementara tangan kanan bertugas memainkan accord.          
Sasando mempunyai media pemantul suara yang  terbuat dari daun Pohon Gebang (sejenis Pohon Lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Rote) yang dilekuk menjadi setengah melingkar. Tempat senar-senar diikat terbuat dari bambu yang keras, penahan senar yang sekaligus sebagai pengatur nada senar juga terbuat dari bambu. Batang bambu itu lalu diikat menyatu dengan daun Gebang yang dibuat melingkar tadi. Tabung sasando ini terletak dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas.
Wadah ini adalah tempat resonansi sasando. Bunyi sasando sangat unik, karena dibanding gitar biasa sasando lebih bervariasi. Jangan heran, hal ini karena sasando memiliki 28 senar. Itulah sebabnya memainkan Sasando tidaklah mudah  karena seorang pemain Sasando harus  mampu membuat ritme dan feeling bunyi nada yang tepat dari seluruh senar yang ada. Sasando dengan 28 senar ini dinamakan  Sasando engkel, sedangkan jenis Sasando dobel memiliki 56 senar, bahkan ada yang 84 senar.

Sasando saat ini sudah mulai langka karena tidak ada orang yang mau memainkannya lagi. Tetapi berbeda dengan Jacko H.A. Bullan. Ia adalah salah satu dari 8 orang pewaris sasando rote yang tersisa. Untuk mendukung niatnya melestarikan sasando ia pindah ke Jakarta. Dan hasilnya pun sepadan, order manggung Jack semakin banyak. Sejumlah negara pun pernah ia datangi untuk pentas mulai dari Malaysia, Jepang, hingga Spanyol. Di Jakarta, Jack membuka rumahnya bagi siapa pun yang ingin belajar sasando.
Jack mengaku bahwa ia tidak pernah menerima biaya apapun dalam pelestarian sasando. Padahal ada program maestro seni tradisi (bantuan Rp 1 juta/orang/bulan selama seumur hidup) yang disediakan oleh Depbudpar. Tanpa mengambil program tersebut, Jack terus berusaha dengan cara consumer selling ke target utama pasar pariwisata Indonesia. Dengan begitu Jack tidak akan menjadi generasi terakhir pemetik sasando.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hyperduty Season VI

SMA Negeri 5 Depok Proudly Presents HYPERDUTY SEASON 6 Date: Sunday, August 6th 2017 Guest Stars: Sheila on 7 JKT 48...